Satu Lagi Ulama Pergi Tanpa Saya Punya Kenangan

nurbani yusuf

Mengenang Buya Yunahar

Modernis.co, Malang – agar saya tak kehilangan substansi bahwa bersila di ‘ndalem’ ulama adalah ta’dzim dan ziarah kubur sejatinya adalah mengingat mati—

Mungkin saya bagian dari puluhan juta warga Muhammadiyah yang lain yang tak punya kenangan dengan para ulama. Tidak pernah menggenggam tangannya, tidak pernah berkunjung ke ‘ndalemnya’ dan tak pernah ta’dzim duduk mendengar tausiyahnya.

Apalagi meminta doanya dan memohon fatwanya. Pertemuanku dengan ulama-ulama Muhammadiyah hanyalah pertemuan biasa dan biasanya hanya bertemu di forum-forum resmi, seminar, kajian atau rapat-rapat lainnya— tiada sama sekali yang berniat diri berta’dzim di kediaman beliau sekedar menggenggam tangannya dan meminta nasehatnya.

Saya dibesarkan di lingkungan tradisi egaliter, tak biasa menghormati ulama karena takut kultus dan jatuh syirik, Karena ketakutan inilah maka saya dan banyak yang lainnya tiada punya tradisi bersilaturahmi dan berta’dzim kepada para ulama, baik ketika masih hidup apalagi setelah wafatnya.

Sampai disini keberagama-an saya terasa kering dari spiritualitas. Hampa karena hanya fokus pada sunah dan bid’ah, boleh dan tidak boleh, ada dalil atau tidak ada dalil. Dicontohkan nabi atau tidak berputar-putar disini selamanya hingga saya menua nanti.

Lantas apa yang saya dapat dari beragama macam begini : upacara dan ritual. Agama hanya kumpulan gerakan dan bacaan—lafadz-lafadz dan mantra -mantra yang dijaga rapi agar tidak bertambah dan berkurang, hanya itu.

Banyak yang shalat tak pernah bertemu Rabbnya karena konsentrasi pada lafadz dan gerakan, daya pikirnya luas karena pengetahuannya menembus batas tapi hatinya beku karena tidak terurus, Tuhan semakin jauh dari hatinya meski shalat dilakukan semakin sering. Bahwa shalat adalah mi’radz bagi mu’minin kalah nyaring dengan urusan ikhtilaf macam ushali atau Sayidina.

baca opini lainnya : Zonasi : Zonasi : Menghapus Kelas Sosial

Saya pernah berpikir agar ada para ulama ulama MUHAMMADIYAH di kubur ditempat khusus. Kasultanan Jogja punya komplek kuburan para raja Imogiri. Saya pernah berkunjung meski nuansa syirik dan pemujaan sangat terasa. Berbeda jauh dengan atmosphere kuburan Kyai Dahlan di Karang Kajen.

Mungkin saya akan ambil sikap tengahan (wasath) antara suasana mistik di Imogiri dan atmosphere egaliter di Karangkajen. Tapi, perlu proses dan saya yakin banyak yang menolak dan saya tak peduli. Agar saya tak kehilangan substansi bahwa ziarah kubur adalah mengingat mati.

Bulan Januari ini saya telah mengagendakan berta’dzim pada ulama-ulama MUHAMMADIYAH di Solo, Jogja, Magelang, Tegalrejo, Krapyak, Klaten dan Semarang yang sempat tertunda setelah hampir tujuh bulan penuh dengan urusan dunia yang melelahkan.

Saya harus membayar mahal kehilangan satu ulama junjungan yang sangat saya hormati. Selamat jalan Buya Yunahar, semoga Allah ridha. Semoga pula Muhammad SAW nabimu berkenan memberi mu syafaat, lahulfaatihah. Aamin insya Allah.

Oleh : Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Mahsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment